Skip to main content

Sticky Advertisement

728

Ad Code

728
728

Mendidik Pemimpin Gaya Platon



Setyo mencatat bahwa ketika merumuskan figur pemimpin negara, Platon memulainya dengan mengemukakan definisi negatif tentang negara. Negara menurut Platon bukan pasar, bukan barak militer, dan bukan teater pengadilan. Maka pemimpin Negara tidak boleh diangkat dari sosok yang berjiwa pedagang, militer, maupun dari sosok pengacara...

 

Mungkinkah kita mendidik pemimpin? Pertanyaan inilah yang hendak dibahas A.Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi lewat bukunya yang bertajuk “Mendidik Pemimpin dan Negarawan”. Dengan perpijak pada dialektika filsafat pendidikan dari filsuf besar Platon dan mengambil inspirasi dari karya besarnya yakni Politeia (The Republic), kedua penulis coba menyelami bagaimana seorang pemimpin muncul dan dididik menjadi negarawan sejati.

 

Terkait pertanyaan di awal, Setyo memberikan dua jawaban yang sepintas kontradiktif yakni tidak bisa dan bisa. Jika kita termasuk orang-orang yang gandrung dengan pelatihan kepemimpinan entah berupa kursus ataupun workshop, jawaban pertama mungkin akan mengecewakan. Sebab tesis penulis buku ini mengenai konsep pemimpin Platon ternyata menyebutkan bahwa pemimpin itu tidak dapat dididik. Kepemimpinan adalah soal bakat bawaan yang tidak bisa dipelajari atau dibentuk melalui serangkaian kurikulum. Pemimpin terlahir begitu saja. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa sebagian besar pemimpin atau negarawan besar cenderung menempa dirinya sendiri dan keluar dari bentuk-bentuk lazim pendidikan yang berlaku di masyarakatnya. Jika pun ada pemimpin yang sempat mengenyam pendidikan formal hingga jenjang yang tinggi sekalipun, maka sesungguhnya bukan pengalaman itu yang menjadikannya pemimpin, melainkan karena ia memang sedari lahir telah terbekali dengan serangkaian bakat kepemimpinan lalu mengikuti intuisinya untuk secara total mengembangkan bakat-bakatnya itu.

 

Barangkali Ilustrasi mengenai jawaban pertama tadi lebih mudah kita amati dalam dunia binatang. Dalam dunia satwa, khususnya yang hidup berkelompok, dikenal adanya kepribadian alfa yang merupakan pemimpin kelompok. Jenis ini, by nature, akan diikuti oleh kawanannya sebab secara alamiah pula ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan anggota kelompok yang lain. Umumnya pemilik kepribadian Alfa memiliki insting yang lebih tajam, tubuh lebih besar, lebih tangkas, lebih kuat, atau bersuara lebih keras. Segala kelebihan yang dimiliki alfa ini pun sudah terlihat sejak kecil berdasarkan perilaku maupun ciri fisiknya. Alfa hanya mungkin digantikan perannya oleh kemunculan jenis Alfa lain. Dengan demikian tidak setiap anggota dapat menjadi pimpinan kelompok. Ilustrasi yang lebih filosofis tentang kemunculan pemimpin dipaparkan A.Setyo melalui kisah burung camar bernama Jonathan Livingstone yang dicuplik dari fabel karya Richard Bach berjudul “Jonathan Livingstone Seagull”

 

Bagi Platon sendiri, segala sesuatu memiliki tempatnya masing-masing. Begitu pula dengan manusia. Manusia dalam konsepsi Platon memiliki posisinya sendiri dalam hubungannya dengan keutuhan realitas. Ini berarti setiap orang terlahir dengan tujuan keberadaannya sendiri dan hal ini tercermin dari bakat yang bervariasi antara satu orang dengan lainnya. Pemimpin pun demikian. Seseorang tidak dapat menjadi pemimpin hanya karena ia menginginkannya lantas memelajari serangkaian pengetahuan tentang bagaimana cara memimpin. Ia pertama-tama haruslah berbakat. Dan bakat pemimpin ini tidak dapat dipertukarkan antara satu orang dengan lainnya.

 

Meski demikian, jawaban kedua membuka posibilitas pendidikan bagi calon pemimpin dalam arti tertentu. A. Setyo menjelaskan bahwa walaupun tampak bertentangan, jawaban kedua ini sesungguhnya masih berkaitan dengan yang pertama. Bahwa pemimpin adalah soal bakat; dalam konteks ini tidak berarti ia tidak memerlukan pendidikan. Karena meskipun rata-rata pemimpin tidak lahir dalam sistem pendidikan yang berlaku, toh mereka tidak bisa lepas dari proses-proses pendidikan yang dilakukannya secara mandiri. Dari situlah kedua penulis kemudian merumuskan makna kepemimpinan, kriteria calon pemimpin, sekaligus kurikulum sistem pendidikan berbasis intuisi Platon yang dalam khazanah Yunani antik dikenal dengan sebutan paidiea.

 

Paidiea Platon

 

Konsep pendidikan pemimpin ala Platon lahir dari pergulatannya dengan kondisi Yunani pada masanya. Sekitar abad ke lima sebelum masehi, makna pemimpin dan kepemimpinan adalah medan yang diperebutkan antara golongan aristokrat, kelompok sofis dan para penyair homerik. Masing-masing kelompok memiliki idealismenya sendiri tentang pribadi unggul (kaloskagathos) yang layak menjadi pemimpin polis. Berbekal khazanah warisan Homeros, para penyair mengidealkan pemimpin dari sosok negarawan-penyair. Sedang kaum sofis merumuskan sosok pemimpin ahli retorika yang sanggup memikat rakyat untuk mengikutinya (dalam konteks hari ini barangkali ahli pencitraan). Sementara golongan aristokrat memempertahankan penekanan prinsip kepemimpinan berdasarkan garis keturunan kaum bangsawan (dinasti).

 

Kondisi Athena sendiri saat itu tengah karut marut akibat penerapan demokrasi yang kebablasan. Haryanto Cahyadi mencatat setidaknya ada empat masalah yang dihadapi Platon:” Pertama, pertikaian internal akibat pemimpin yang tidak memiliki jiwa negarawan dan menolak bertanggungjawab. Kedua, kegagalan pemimpin mengemban tanggung jawab sebagai pendidik warga yang ia pimpin(dalam arti menegakkan hukum di polis). Ketiga, tiadanya model yang bisa dipegang warga dalam merawat polis. Dan keempat, tercemarnya figur filsuf sejati akibat maraknya filsuf gadungan yang memperjualbelikan ilmu dan membuat orang kacau.”(hal 56). Dari sana Platon kemudian mengusulkan paideia yang berbeda dari tradisi Homeric maupun sofis.

 

Bagi Platon pendidikan adalah sekaligus pembudayaan dan tidak bisa dipisahkan. Artinya proses pendidikan bukan semata memasukkan pengetahuan atau keterampilan tertentu bagi peserta didik. Pendidikan mula-mula adalah pertobatan/conversion (conversio=pembalikan arah). Artinya, peserta didik diajak untuk membalikkan pandangannya pada kebaikan dan diarahkan untuk mencintai “Yang Baik”. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pengetahuan dan keterampilan sebagaimana dilakukan kaum sofis, hanya akan memunculkan ahli-ahli yang tidak memiliki orientasi pada kebenaran melainkan sekadar memuaskan hasrat epithumia (hasrat seputar perut ke bawah) dan thumos (hasrat di seputar rongga dada seperti kebanggaan, kedigdayaan, dan harga diri) semata.

 

Di samping itu pendidikan yang hanya berorientasi pada supply pengetahuan juga mendapat gugatan filosofis dari Platon. Pola pendidikan semacam itu-yang menekankan suppy pengetahuan- kerap mengandaikan manusia sebagai wadah namun tak memiliki bentuk. Bahwa pengetahuan tertentu cocok bagi orang tertentu dan tidak bagi yang lain seringkali diabaikan. Asumsi sekaligus obsesi para sofis yang menghendaki “memberikan pengelihatan pada mata” menurut A.Setyo, dipandang sebagai sesuatu yang naif oleh Platon. Mata dengan sendirinya sudah tentu dapat melihat. Maka pendidikan adalah soal bagaimana agar mata itu dapat mengalihkan pengelihatannya pada “Yang baik” untuk meraih keutamaan (arête).

 

Proses pembalikan pada kebaikan dan keutaamaan itu mendapat penekanan utama dalam buku ini. Dalam konteks pendidikan bagi calon pemimpin, pertama-tama perlu dilakukan prosedur seleksi yang ketat atas peserta didik. Di sini perhatian Platon akan individu berbakat tercermin. Individu yang dapat dididik mencadi pemimpin memiliki kecenderungan bawaan atau disposisi tertentu  di antaranya: Pertama, mereka lebih menyukai hal-hal yang permanen daripada yang berubah-ubah. Hal ini merefleksikan hasrat mereka akan keabadian tinimbang yang temporal atau sementara. Kedua, mereka lebih menyukai keutuhan daripada yang parsial. Ketiga, mereka mengalami kesulitan berbohong. Keempat, mereka tidak mudah takut atau bersikap sembrono. Kelima, mereka menunjukkan perpaduan antara sifat adil namun juga lemah lembut. Ignas Kleden dalam komentarnya mengenai buku ini mengatakan bahwa perpaduan ini sulit dikarenakan orang yang adil cenderung memiliki sifat keras sementara pribadi yang lemah lembut dan mudah memaafkan akan sulit bersikap adil. Keenam, mereka memiliki kemampuan untuk cepat menangkap pelajaran namun di saat yang sama juga tekun dan tidak mudah bosan dengan suatu perkara. Ini juga kombinasi yang sulit. Karena orang yang cepat menangkap cenderung mudah bosan dengan perkara yang sama sedang orang yang tekun dan setia cenderung kesulitan menghadapi situasi atau perkara baru. Dan ciri ketujuh, mereka tidak mudah lupa.

 

Prosedur seleksi ini kemudian diteruskan dengan menerapkan kurikulum pendidikan berjenjang. Pada pendidikan usia dini yakni hingga usia 17 tahun, peserta didik diarahkan untuk mampu mengapresiasi nilai-nilai luhur. Metode yang digunakan adalah mimesis atau peniruan. Di sini Platon menggunakan instrumen mitos yang sebagian diambil dari syair homeros namun diseleksi secara ketat agar nilai-nilai keluhuran itu menjadi tampak. Mimesis sebagai instrument paidiea, meski mendapat sejumlah kritik dari Platon sendiri namun ia juga mengakui manfaatnya selama peniruan ini dirujukkan pada prinsip-prinsip pekerti yang luhur. Materi musik dan seni juga mendapat tekanan dari Platon guna mengasah kepekaan akan harmoni dan prinsip moderat.

 

Proses pendidikan dilanjutkan dengan mengajarkan materi gymnastic pada usia 18-20 tahun. Gymnastic di sini tidak diartikan sebagai olah tubuh demi tubuh itu sendiri. Pasalnya titik tekan paideia adalah olah jiwa. Maka gymnastic dimaksudkan agar jiwa mendapat bentuknya dengan memberlakukan disiplin atas tubuh secara tepat. Latihan fisik, seperti mengatur pola makan dengan membiasakan asupan sederhana; menjaga kesehatan dengan meninggalkan kebiasaan yang dapat merusak tubuh,  dengan demikian tidak dimaksudkan agar peserta didik terlampau memeperhatikan bentuk tubuh, melainkan untuk membentuk keberanian dan emosi-emosi lain di rongga dada(thumos). Jika pendidikan seni bertujuan membentuk jiwa moderat, maka aktualisasi sikap moderat itu membutuhkan keberanian. Maka pelajaran seni dan gymnastic bersifat saling melengkapi. Peserta didik yang cenderung pada harmoni namun tak memiliki keberanian akan ragu bersikap. Sebaliknya jika keberanian terlalu dominan, melahirkan sikap sembrono.

 

Fase berikutnya yang dipaparkan oleh A.Setyo adalah pendidikan teoretis, yakni pada usia 20-29 tahun. Pada tahap ini, peserta didik diajarkan ilmu-ilmu teoritik seperti matematika, geometrika, dan astronomi. Tujuan dari pendidikan di tahap ini adalah mengajarkan pengetahuan yang melampaui persepsi indrawi. Angka adalah instrument yang dapat membantu melepaskan pikiran dari persepsi indrawi. Dari situ sensibilitas akan realitas inteligibel dibuka. Mempersepsi ruang misalnya tidak lagi sekadar berbasis pada sensibilitas indra seperti”ruangan itu luas, bangunan itu tinggi, dan seterusnya” melainkan melalui abstraksi angka-angka.

 

Pendidikan teoritis sebagaimana dirumuskan Platon bukan bertujuan untuk menjadikan seseorang ahli matematika. Spirit yang mendasarinya adalah agar peserta didik mampu melepaskan potensi pikiran dari kodrat kebertubuhannya. Karena itu pendidikan teoretis di sini dapat dipandang sebagai persiapan menuju pencerapan realitas sejati, yang inteligibel. Sebuah tahap menuju metafisika. Dari sana mereka akan siap untuk memasuki fase dialektika(usia 30-35) yakni sebuah metode penggalian kebenaran melalui dialog logis yang dilakukan sendiri, berpasangan, ataupun dalam sebuah kelompok diskusi.

 

Dengan segenap fase yang telah dilalui tersebut bukan berarti pendidikan calon pemimpin telah usai. Mereka pada akhirnya harus kembali ke masyarakatnya, terlibat dalam urusan rakyat kebanyakan, berdialog, sembari mempelajari persoalan masyarakat itu. Ini merupakan tahap akhir yang wajib ditempuh calon pemimpin dalam kurun waktu minimal 15 tahun. Maka pempin ideal menurut Platon berada dikisaran usia 50an.

 

Secara ringkas, kurikulum paideia Platon dimaksudkan agar calon pemimpin yang dididik mampu mengembangkan seluruh potensinya secara bertahap hingga titik di mana individu tersebut siap menjadi pemimpin yang baik dan dapat mengarahkan rakyatnya pada kebaikan. Terlihat bahwa figur negarawan dalam konsepsi Platon memiliki kualitas-kualitas seorang pendidik. Dalam hal ini pendidik rakyatnya. Ia bukan sekadar menguasai teknis pengelolaan Negara, atau sosok yang mampu mengontrol ketertiban umum dan mengupayakan kesejahteraan ekonomi. Namun ia dituntut untuk dapat membangun jiwa rakyatnya untuk menjadi pribadi yang baik dan berperadaban luhur.

 

Sosok seperti itu justru tidak pernah menghasrati diri untuk menjadi pemimpin. Pribadi kaloskagathos (yang elok dan yang baik) dalam konsepsi Platon menjadikan obsesi kesempurnaan jiwa sebagai tujuan hidupnya. Kepemimpinan yang didapatkan dengan demikian dipandang sebagai suatu paksaan; ada semacam kondisi dimana ia “dipaksa” oleh keadaan untuk mengambil posisi sebagai pemimpin untuk mencegah keburukan terjadi. Karena itu pula figur pemimpin kaloskagathos akan dengan rela melepaskan posisinya ketika muncul individu lain yang siap mengemban posisi tersebut, untuk kemudian melanjutkan hasratnya meraih kesempurnaan diri.

 

Setyo mencatat bahwa ketika merumuskan figur pemimpin negara, Platon memulainya dengan mengemukakan definisi negatif tentang negara. Negara menurut Platon bukan pasar, bukan barak militer, dan bukan teater pengadilan. Maka pemimpin Negara tidak boleh diangkat dari sosok yang berjiwa pedagang, militer, maupun dari sosok pengacara. Jiwa pedagang cenderung kalkulatif dan mementingkan diri sendiri. Sementara jiwa militeristik cenderung memerintah dengan mengabaikan aspirasi rakyatnya, sedangkan jiwa pengacara cenderung berpihak pada golongan tertentu yang dibelanya dengan berbagai rasionalisasi tanpa berpihak pada kebenaran. Dari situ Platon mengidealkan pemimpin sejati adalah sosok filsuf. Di situlah awal Platon dikenal dengan ide filsuf-raja atau filsuf ratu-nya.

 

Catatan Penutup

 

Gagasan mengenai paideia serta negarawan-filsuf ala Platon sebagaimana digali dalam karya A.Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi ini barangkali akan mendapat sejumlah kritik. Karena di samping bercorak elitis serta bertabrakan dengan kultur demokrasi liberal hari ini, konsepsi mengenai hirarki realitas bercorak teologis yang diasumsikan Platon ada, juga telah terpangkas akibat serbuan paradigma modern. Kesamaan hak setiap orang mendapatkan pendidikan akhirnya menjadi rancu dengan anggapan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Spirit egalitarian dalam pendidikan kita hari ini akhirnya kurang memerhatikan potensi dan bakat seseorang. Ironisnya, semangat egaliter justru luntur manakala berhadapan dengan materi. Banyak lembaga pendidikan tidak lagi memandang bakat sebagai prasyarat melainkan didasari kesanggupan memenuhi aspek pembiayaan. Akibatnya lembaga pendidikan kerap menghasilkan lulusan medioker yang tak cakap. Maraknya kasus malpraktik, jembatan ambruk karena kesalahan konstruksi, serta politisi korup merupakan indikasi bahwa problematika bangsa ini bukan sekadar urusan pranata hukum, sistem politik, apalagi sekadar subsidi yang tak tepat sasaran.  


        Bagi pembaca yang tidak terbiasa menelaah teks-teks filsafat, membaca buku ini mungkin akan sangat melelahkan. Ada banyak istilah rumit yang tentu saja tidak biasa dijumpai dalam buku-buku bertemakan kepemimpinan wa bil khusus yang ditulis dengan gaya popular. Sayangnya, pelbagai istilah tersebut digunakan seolah mengandaikan pembacanya telah terbiasa menghadapi karya filsafat serius. Mungkin ada baiknya jika karya semacam ini juga dilengkapi dengan glossarium memadai guna memudahkan pembaca awam memahami pelbagai peristilahan teknis khas filsafat hingga dapat memberikan apresiasi  yang layak. Meski demikian secara keseluruhan, buku ini penting bagi mereka yang serius bergerak di bidang pendidikan maupun politisi guna mendapatkan kearifan mengenai konsepsi pembagunan manusia serta kenegarawanan yang dalam konteks Indonesia kontemporer tengah dilanda krisis akibat pragmatisme kepentingan perut dan obsesi kekuasaan sebagian orang[]


Catatan:


*Penyebutan Platon merujuk pada nama filsuf yang lebih dikenal penulisan namanya yakni “Plato”. Adapun penulis menggunakan “Platon” dikarenakan alasan ketepatan transliterasi dari bahasa aslinya. Di samping itu ilmuwan dan pemikir muslim arab pun konsisten menggunakan sebutan “Aflatun” dalam karya-karyanya yang lebih mendekati bunyi “Platon”.


Posting Komentar

0 Komentar

728